My Life
Lahir sebagai anak
kedua dalam keluargaku yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan kakak laki-laki
dengan perbedaan umur yang cukup jauh, 6 tahun. Aku dilahirkan ketika ibuku
telah berusia 39 tahun dan ayahku 48 tahun. Perbedaan usia yang sangat jauh itu
menyebabkan hubunganku dengan keluargaku pun sama jauhnya. Didikan dari orang
tuaku yang kurang memberi kasih sayang dan perhatian secara verbal menyebabkan
aku menjadi seorang anak yang haus akan kasih sayang orang tua terutama dari
ayahku. Sebuah pelukan atau ciuman tak pernah kuterima dari ayahku, bahkan
untuk mengadakan percakapan di rumah pun merupakan hal yang jarang sekali
terjadi, mungkin tak pernah.
Yah, Tuhan sangat
baik, Ia mengetahui kerinduan hatiku dan memberikan kepadaku seorang suami yang
memiliki sosok seorang ayah yang selama ini kuimpikan.
Masa berpacaran kami
jalani selama lebih dari 4 tahun, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk
menikah. Dalam 4 tahun itu, 6 bulan kami habiskan bersama-sama, namun 2,5 tahun
berikutnya kami menjalani hubungan jarak jauh (long distance relationship)
karena perusahaan tempat kami bekerja menugaskan suamiku di Medan, sedangkan
aku di Jakarta. Sekembali suamiku ke Jakarta, timbul niat kami untuk menikah. Di
saat yang sama penyakit antah berantah ini sudah mulai menggerogoti tubuhku, namun
tak pernah kuungkapkan hal itu kepadanya.
Singkat cerita, kami
pun menikah di bulan November 2009, ketika kondisi tubuhku sudah cukup menurun.
Rasa letih berlebihan (fatigue) mulai
menderaku, bahkan kala persiapan pernikahan kami, aku sudah kehilangan tenaga
dan semangat untuk menikah. Tapi Tuhan sungguh baik, dengan persiapan 1,5
bulan, akhirnya pernikahan kami yang sederhana dilangsungkan di sebuah gereja
disertai acara resepsi di tempat yang sama yang didatangi oleh keluarga dan
kerabat dekat kami.
Di akhir Desember
2009, aku tak sanggup lagi bekerja karena semua gangguan yang aku alami
ditambah dengan rasa pusing yang menyerang setiap kali melihat monitor
komputer. Padahal hampir seluruh waktu kerjaku dihabiskan di depan komputer.
Baru kuungkap kepada suamiku apa yang terjadi dengan tubuhku. Dengan sabar,
suamiku menemaniku dalam perjalanan mencari penyakitku ini, walau aku sudah tidak
sanggup menjalankan peran sebagai istri.
Kala vonis MS
terlontar 4 bulan kemudian, aku sangat terpukul apalagi mendengar dokter
mengatakan bahwa MS belum bisa disembuhkan. Dalam suatu perjalanan di malam
hari, ketika aku hanya berdua di mobil dengan suamiku, aku meminta maaf padanya
karena merahasiakan penyakitku selama ini. Seharusnya ia bisa menikah dengan
wanita lain yang lebih baik dariku. Aku sungguh merasa bersalah. Namun, ia
hanya memegang tanganku dan berkata bahwa dia akan selalu menemani dan
mencintaiku apapun yang terjadi. Tanpa dikomando lagi, air mataku deras keluar membasahi
mukaku.
Sekarang sudah 3,5
tahun pernikahan kami berjalan, ada kala sakitku membaik dan ada waktunya ia
tak bisa diajak kompromi lagi. Perasaanku dan suamiku tentunya tidak selalu
berjalan mulus, pertengkaran, perselisihan disertai air mata acap kali terjadi.
Namun, Tuhan sedang membangun karakter kami berdua dan menjadikan kami pasangan
yang lebih baik lagi daripada sebelumnya.
Komunikasi yang Baik
MS adalah penyakit
yang unik, banyak dari gejalanya yang tidak nampak oleh orang lain, kecuali
gangguan berjalan yang sering dialami. Bagi orang lain, seorang penderita MS
kelihatan sehat-sehat saja. Aku pun mengalaminya, menghabiskan waktu lebih lama
di toilet karena air kencing yang susah keluar. Risih rasanya dengan orang lain
yang antre menunggu giliran di toilet. Juga ketika rasa ingin buang air kecil
itu datang, tak jarang aku harus menyelak antrian. Kalau tidak, celanaku bisa
basah. Orang lain tak akan mengerti kondisi seorang penderita MS, bila kita
tidak mengemukakannya.
Perlu waktu yang
tidak sebentar juga bagi suamiku untuk dapat memahami penyakitku, apa yang kualami,
apa yang kurasakan, apa yang kuperlukan dan apa yang harus dilakukannya untuk
bisa membantuku. Kini aku selalu menceritakan pengalamanku melakukan kegiatan
sehari-hari, perasaanku, ketidakberdayaanku, keperluanku agar ia mengerti lebih
lagi dan tahu apa yang kualami dengan tantangan sekecil apapun.
Jangan Sungkan Meminta Bantuan Orang Lain
Aku tidak dapat lagi
berlagak menjadi orang yang kuat dan mandiri, peran yang selama ini kujalankan.
Pada awalnya sulit bagiku untuk meminta bantuan orang lain, bahkan untuk
berjalan dengan bantuan walker saja
rasanya malu sekali. Tapi, aku tidak bisa melakukan semuanya sendiri lagi. Saat
ini aku memang membutuhkan bantuan orang lain untuk melakukan aktivitas
sehari-hari. Misalnya, aku butuh bantuan orang lain untuk memakaikan sepatu,
menyiapkan peralatan untuk mandi, membawakan makanan untukku, bahkan suamiku
tak jarang membantu memakaikan pakaianku selesai mandi.
Memang rasanya tidak
enak membebani orang lain, tapi perlu disadari juga bahwa hal itu merupakan
kesombongan yang terselubung. Merasa diri kita bisa melakukan semuanya sendiri,
bukankah itu suatu kesombongan?
Yah, Tuhan tidak
suka dengan orang yang sombong, tetapi Dia suka dengan orang yang selalu
mengandalkan-Nya dalam segala hal. Jadi masih perlukah kita malu meminta
bantuan orang lain?
Bersyukurlah atas
keluarga yang diberikan Tuhan kepada kita, mereka memang tidak sempurna, tapi
Tuhan tidak pernah salah menempatkan kita dimana kita memang dibutuhkan untuk
berada disitu.